Pada abad ke 18 H, bencana kelaparan hebat melanda wilayah Arabia Utara. Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu melewati hari-harinya tanpa istirahat dan tidak bisa tidur memikirkan cara menanggulangi bencana tersebut. Ia bersumpah tidak akan menyentuh susu dan mentega sampai kelaparan berakhir. Bencana itu disusul dengan wabah sampar mematikan yang menyebar ke Syria.
Umar mengambil untanya dan berangkat ke daerah itu untuk melihat langsung kondisi rakyatnya. Dalam perjalanan pulang, ada sebuah tenda kecil yang menarik perhatiannya. Umar melihat seorang wanita tua duduk di pintu tenda itu. Khalifah umar menyapa, “Apakah anda tahu tentang Khalifah Umar ?” “Ia sedang dalam perjalanan pulang dari Syria ke Madinah,” jawab wanita tua itu. “Apalagi yang ingin engkau ketahui ?” tanya Umar lagi dengan nada menyelidik. “Apa lagi yang perlu engkau ketahui dari orang jahat itu ? Biarkan dia pergi ketempat anjing-anjingnya,” jawab si wanita yang tidak mengetahui bahwa yang berada di depannya adalah khalifah yang sedang diperbincangkan.
"Mengapa begitu, wahai ibu ?" "Mengapa tidak ! dia tidak memberi kami apa-apa hingga sekarang," jawab si wanita itu. "tetapi bagaimana ia bisa tahu segala sesuatu yang terjadi di wilayah yang jauh ini ?" "jika ia tidak bisa tahu kondisi rakyatnya, mengapa ia masih tetap menjabat sebagai khalifah ?" kritiknya. Khalifah terbuka hatinya. Ia memberi hormat kepada wanita itu seraya berbisik lirih dalam lubuk hatinya, "Ibu, anda telah memberi Umar pelajaran." Tentu bukan suatu yang ringan mengurus rakyat yang sedang terkena musibah bertubi-tubi seperti itu. Segala ikhtiar dikerahkan sampai-sampai Umar prihatin dan bertekad tidak makan susu dan mentega hingga kelaparan berakhir. Kesungguhan, pengorbanan dan kesederhanaan Umar sudah banyak dikenal dikalangan rakyatnya. Dia pantang bermewah-mewahan. Makanan lezat dijauhi sebelum yakin seluruh rakyatnya hidup berkecukupan. Tapi bagaimana persepsi sebagian rakyatnya ? ternyata wanita tua itu justru mengkritik dan mengumpat didepannya sendiri !
Kritik bukan Intrik
Kritik tidaklah identik dengan intrik, lalu Apa sebenarnya kritik itu ? Kritik dapat diartikan sebagai penilaian yang mengungkapkan baik keistimewaan, kekhasan maupun kelemahan dari suatu karya cipta seseorang baik berupa prilaku maupun ucapan yang semata-mata merupakan realita yang terjadi. Kritik merupakan pengakuan bahwa sesungguhnya manusia itu tidak sempurna, memiliki kelemahan dan mudah keliru. Tetapi keliru adalah fitrah manusia. Hal ini harus disadari sehingga keterbatasan atau kelemahan yang inheren dalam setiap manusia seharusnya menjadi kekuatan. Kelemahan, keterbatasan atau kekeliruan bukanlah aib !
Namun, membiarkan kelemahan, keterbatasan dan kekeliruan menodai hasil karya cipta adalah hal yang harus dihindari. Mengapa sikap kritis harus ditumbuh-kembangkan ? Dalam masyarakat yang lemah daya kritisnya maka akan merajalela pembodohan, berkembang berbagai macam kemunafikan yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain. Dalam masyarakat yang budaya kritisnya telah berkembang, ruang dan kesempatan terhadap pembodohan semacam itu dipersempit dan sikap egaliter berkembang. Sikap dan budaya kritis menjadi semacam penangkal dari kesewenang-wenangan sikap atau tindakan satu orang (kelompok) terhadap orang (kelompok) lain.
Masing-masing (orang / kelompok) lebih berhati-hati dalam bertindak, bersikap atau mengeluarkan pernyataan karena lingkungannya selalu memasang ‘mata pengawasan’ terhadapnya. Setiap individu makin terasah daya nalarnya karena setiap saat pendapat atau gagasannya dihadapkan pada penilaian objektif dan terbuka sehingga kecil sekali peluang baginya untuk sekadar mengeluarkan pendapat, pernyataan atau membuat kebijakan yang berimplikasi luas tanpa memikirkannya dalam-dalam, tanpa pertimbangan matang. Apabila dilakukannya juga, dia akan dihadapkan pada kecaman yang sangat tidak bersahabat. Dalam lingkungan, sikap kritis harus ditumbuhkan, dipelihara dan dikembangkan. Kritik ibarat angin yang menggoyang-goyang pohon dari kecil hingga menjadi pohon yang rimbun. Goncangan-goncangan angin itu bermanfaat untuk memperkuat akar-akar, dan cabang-cabang pohon hingga ia tumbuh dan berdiri kokoh. Namun seringkali sikap kritis diartikan sebagai pembangkangan yang harus cepat-cepat diredam agar ‘virus‘ itu tidak menyebar ke mana-mana.
Reaktif
Menyikapi kritik dengan bijak memang tidak mudah. Kebanyakan orang lebih memilih bersikap reaktif. Seringkali belum tuntas mendengarkan pesan kritiknya, kita sudah tergesa-gesa menimpali. Belum selesai satu kalimat terlontar, sudah dipotong dengan berondongan sepuluh kalimat pembelaan. Apalagi, bila yang mengkritik itu dipandang lebih rendah levelnya. Apa sih yang diketahui wanita tua itu di padang pasir terhadap pekerjaan pemimpin seperti Umar ? bukankah upaya maksimal telah dilakukan sedemikian itu oleh khalifah ? Membalas kritikan dengan kalimat berbusa-busa atau berbagai dalih, tidaklah menunjukkan bahwa kita lebih baik daripada orang yang mengkritik, apalagi yang lebih pedas, malah menunjukkan dia lebih rendah lagi. Jatidiri kita sesungguhnya justru lebih dilihat dari sikap kita menghadapi kritik itu sendiri, daripada pembelaan yang tak karuan. Andai Umar membalas kritikan itu dengan celaan, tentu seketika martabatnya bakal jatuh. Maunya ingin menunjukkan diri lebih baik, tapi malah terperosok dalam kehinaan. Reaktif menghadapi kritikan bukanlah sikap terhormat. Hal ini justru menunjukkan jiwa yang labil dan kerdil. Hawa nafsu dan ego telah mendominasi dirinya. Alih-alih memahami perasaan dan hati orang lain, malah ia tidak sempat mendengarkan bisikan nuraninya sendiri. Sikap seperti itu justru menutupi nuraninya sendiri.
Sikap yang tergesa-gesa itu terjebak egonya. Meski bisa mengalahkan dan melumpuhkan lawan, dia bukanlah orang kuat. Kata Rasulullah SAW, orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan hawa nafsunya. Seorang yang reaktif sesungguhnya lemah menghadapi egonya. Ia tidak bisa mengendalikan diri, sehingga tidak ada pilihan lain menghadapi kritikan kecuali menyerang balik. Sikap demikian mirip dengan logika binatang yang sedang terdesak, lari atau menyerang. Dalam berbagai bentuknya, seorang yang dikuasai egonya cenderung tiran, kejam, melampaui batas dan senang memaksa. Kritikan akan dipersepsikan sebagai ancaman. Oleh karena itu, sikap refleks yang ditunjukkan adalah balik menyerang. Sikapnya itu justru mematikan potensi spiritualnya. Hanya egonya yang ditonjolkan. Kalau dia sebagai pemimpin, tidak akan bisa menumbuhkan potensi diri dan rakyatnya secara maksimal. Sikapnya itu tidak hanya mematikan nuraninya sendiri tetapi juga menyumbat nurani rakyatnya. Dalam bentuk yang ekstrim, dalam alquran manusia seperti ini adalah figur firaun. Dialah manusia sombong, menolak kebenaran dan meremehkan sesama.
Responsif
Manusia tentu saja diciptakan tidak untuk bersikap serendah itu. Tidak sebagaimana binatang, manusia diberi potensi lebih tinggi yaitu memiliki nurani. Dengan instrumen ini, manusia berkemampuan memilih sikapnya yang terbaik. Sikap dan tindakan yang tidak hanya karena ego, tetapi lebih mendengarkan prinsip dari dalam nurani. Berbeda dengan sikap reaktif, sikap responsif memberikan kesempatan fitrah kita tumbuh. Hanya dengan sikap demikian kita dapat menunaikan misi mulia dalam kehidupan ini, yakni mengajak manusia ke jalan kebenaran.
Mengajak ke jalan Allah SWT dan bukan jalan ego. Menyeru pada kebenaran dengan cara yang benar pula. "Serulah (manusia) ke jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik" (An-Nahl:125)
Manusia terlahir kedunia dengan masing-masing memiliki potensi komunikasi, artinya manusia tidak bebas nilai. pada saat seseorang tidak bermaksud mengkomunikasikan sesuatu, tetapi dimaknai oleh orang lain maka orang tersebut sudah terlibat dalam proses berkomunikasi. Gerak tubuh, ekspresi wajah (komunikasi non verbal) seseorang dapat dimaknai oleh orang lain menjadi suatu stimulus sebagai dasar penilaian terhadap seseorang ( contoh: seorang yang pendiam tidak luput dari penilaian orang lain. Kata si B, "Si A teh orangnya pendiam, ga suka gaul gitu loh !", padahal si A tidak berbuat sesuatu yang merugikan atau berdampak pada orang lain tetapi tetap saja di nilai si B, apalagi jika A berbuat sesuatu !?) Oleh karena itu, dalam menghadapi kritikan seseorang hendaknya kita bersikap responsif karena sesungguhnya manusia itu tidak bebas nilai, janganlah tergesa-gesa dan menjawabnya secara reaktif.
Rasulullah memberikan panduan agar umatnya tidak melayani amarah seseorang yang memancing emosi. Layanilah dengan sabar dan tenang. Dengan ketenangan, kita akan bisa merasakan ruang lapang dalam hati. Ada pilihan-pilihan yang bisa kita lakukan secara merdeka. Bukan semata didikte dari luar, tetapi sikap yang kita kendalikan dari dalam. Saat kita bersabar, maka bisikan nurani akan terdengar. Kita dapat bersikap empatik dan memahami yang dirasakan orang lain. Tidak hanya sibuk dengan egonya sendiri. Kalaupun membantah, bantahlah dengan cara yang baik. Bukan ngotot memaksa agar orang memahaminya, tetapi berusaha memahami padangan orang lain dan meluruskannya lebih baik.
Dengan demikian akan membuat kita bisa mengungkap makna dibalik kritik dan dapat mengambilnya sebagai pelajaran yang berharga. Sikap bijaksana seperti itulah yang dicontohkan umar. Tidak perlu takut hina mengakui kelemahan dan kesalahan diri. Sikap umar yang mengaku mendapat pelajaran dan masukan dari wanita tua itu, apakah membuatnya terhina ? sama sekali tidak. Pengakuan itu justru menampakkan kebesaran jiwanya. Menundukkan ego bisa membuat nurani muncul ke permukaan diri. Membuat potensi spiritual kita tumbuh dan nurani semakin berdaya. Prinsip iman bisa mewujud menjadi sikap ihsan. Sikap terbaik dapat kita ambil. Sikap seperti inilah yang akan membuat jiwa tumbuh besar dan kuat. Bagaimana umar yang sebelumnya garang bisa mengendalikan hawa nafsunya sehingga bisa rendah hati seperti itu ? tentu sikap demikian itu tidak mudah. Sebagaimana fisik, jiwa kita perlu terus dilatih dan dilatih. Tanpa upaya keras, jiwa ini akan lemah dan mudah terombang ambing keadaan. Bentengi hati nurani dengan iman. Rasa takut kepada illahi inilah yang membuat umar mampu menekan egonya dan mewaspadai setiap ucapan dan tindakannya. Jangankan wanita tua, pada kambing yang kehausan di tepi tigris pun jadi perhatiannya.
Tidakkah kita juga ingin beramal terbaik meraih ridhanya ? "Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya." (An-Naaziyaat:40-41)
Ya. Kritik sekilas memang terasa pahit, namun bila menerimanya dengan sabar dan berjiwa besar, sesungguhnya ada peluang meraih kemuliaan. Juga ada pencerahan. Bahkan tidak hanya bagi dirinya, tapi juga pencerahan bagi orang lain, termasuk para pengkritik sendiri. Andai Indonesia memiliki pemimpin seperti Umar bin Khattab ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar