Rabu, 19 Januari 2011

Pesona Jiwa Raga


Pada mulanya adalah fisik. Seterusnya adalah budi. Raga menarik pandanganmu. Jiwa membangun simpatimu.Badan mengeluarkan gelombang magnetiknya. Jiwa meniupkan kebajikannya.

Begitulah cinta tersurat di langit kebenaran. Bahwa karena cinta jiwa harus selalu berujung dengan sentuhan fisik, maka ia berdiri dalam tarikan dua pesona itu: jiwa dan raga.
Tapi selalu ada bias di sini. Ketika ketertarikan fisik disebut cinta tapi kemudian kandas di tengah jalan. Atau ketika cinta tulus pada kebajikan jiwa tak tumbuh berkembang sampai waktu yang lama. Bias dalam cinta jiwa ini terjadi karena ia selalu merupakan senyawa spiritualitas dan libido. Kebajikan jiwa merupakan udara yang memberi kita nafas kehidupan yang panjang. Tapi pesona fisik adalah sumbu yang senantiasa menyalakan hasrat asmara.


Biasnya adalah ketidakjujuran yang selalu mendorong kita memenangkan salah satunya: jiwa atau raga. Jangan pernah pakai di sini. Pakailah kata sambung yang menghubungkan dua pesona itu. Sebab kita diciptakan dengan fitrah yang menyenangi keindahan fisik. Tapi juga denga fakta bahwa daya tahan pesona fisik kita ternyata sangat sementara. 

Lalu apakah yang akan dilakukan sepasang pencinta jika mereka berumur 70 tahun? Bicara. Hanya itu. Dan dua tubuh yang tidur berdampingan di atas ranjang yang sama hanya bisa saling memunggungi. Tanpa selera. Sebab tinggal bicara saja yang bisa mereka lakukan. Begitulah pesona jiwa perlahan menyeruak di antara lapisan-lapisan gelombang magnetic fisik: lalu menyatakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa apa yang membuat dua manusia bisa tetap membangun sebuah hubungan jangka panjang sesungguhnya adalah kebajikan jiwa mereka bersama.

Seperempat abad lamanya Rasulullah saw hidup bersama Khadijah. Perempuan agung yang pernah mendapatkan titipan salam dari Allah lewat malaikat Jibril ini menyimpan keagungannya begitu apik pada gabungan yang sempurna antara pesona jiwa dan raganya. Dua kali menjanda dengan tiga anak sama sekali tidak mengurangi keindahan fisiknya. Tapi apa yang menarik dari kehidupannya mungkin bukan ketika akhirnya pemuda terhormat, Muhammad bin Abdullah, menerima uluran cintanya. Yang lebih menarik dari itu semua adalah fakta bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak pernah berpikir memadu Khadijah dengan perempuan lain. Bahkan ketika Khadijah wafat, Rasulullah saw hampir memutuskan untuk tidak akan pernah menikah lagi.

Bukan Cuma itu. Bahkan ketika akhirnya menikah setelah wafatnya Khadijah, dengan janda dan gadis, beliau tetap berkeyakinan bahwa Khadijah tetap tidak tergantikan. Allah tetap tidak menggantikan Khadijah dengan seseorang yang lebih baik darinya, kata Rasulullah saw.
Terlalu agung mungkin. Tapi memang begitu ia ditakdirkan: menjadi cahaya keagungan yang menerangi jalan para pencinta sepanjang hidup. Pengalaman di sekitar kita barangkali justru selalu tidak sempurna. Karena biasanya selalu hanya ada bukan dalam pesona kita. Atau bahkan tidak ada apalagi. 

Ketika pesona terbelah seperti itu, cinta pasti berada di persimpangan jalan, selamanya diterpa cobaan, seperti virus yang menggerogoti tubuh kita. Dalam keadaan begitu penderitaan kadang tampak seperti buaya yang menanti mangsa dalam diam.

Semoga cinta ini, tulus dan kembali bahwa aku mencintainya karena Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar