Kisah Imanjinatif
Sungguh kehidupan ini terkadang membuat kita terus berlari-berlari tanpa jeda. Usia 3 tahun orang tua sudah mencari-cari tempat bermain untuk anak-anaknya. Sekarang dikenal dengan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Setelah itu masuk ke TK A-B. Selang 2-3 tahun kemudian, orang tua sudah mulai mencari-cari sekolah terbaik buat buah hatinya.
Gong perlarian mulai didentumkan. Tuntutan menjadi juara dan pluit kompetisi semakin sering terdengar di telinga si anak. Enam tahun kemudian, orang tua mewanti-wanti agar belajar yang rajin dan sungguh-sungguh, itu semua beralasan untuk masa depan si anak, supaya mudah masuk kejenjang sekolah selanjutnya.
Sang anak sekarang mulai memasuki medan persaingan baru, teman-temannya juga baru. Aneka jenis pertandingan yang mesti dia menangkanpun, berbeda dengan masa di Sekolah Dasar dulu. Namun ada satu yang tetap sama, juara kelas. Sehingga, untuk mendapatkan itu, sang anak dibawa lari oleh tuntutan mengikuti pelajaran tambahan setelah selesai sekolah. Ada yang ikutan bimbingan belajar, adapula yang guru pengajar diundang kerumah, bagi orang tua yang mampu.
Berapa tahun berlalu, tanpa disadari, tiba-tiba sudah berhadapan lagi dengan Ujian Nasional. Tingkat kosentrasi yang berujung stresspun mulai menyapa, karena berbagai harapan dan gambaran-gambaran ketakutan dihadapkan kepadanya.
Setelah lulus, sang Anak mulai dilanjutkan lagi ke jenjang Sekolah Menengah Atas. Dia mulai merasakan suatu emosi yang terus bergejolak meledak-meledak dalam dirinya, dia tidak tau perasaan apa itu. Perasaan itu khusus hadir saat mendengar, melihat dan berdekatan dengan lawan jenisnya. Ia mengabaikannya, karena teringat kembali dengan program ”Belajar yang rajin, belajar..belajar..belajar agar jadi juara” yang ditanamkan oleh orang tuanya.
Tiga tahun belalu, kehidupan sianak hanya dipenuhi dengan belajar-belajar dan belajar. Ia terus berlari-berlari dengan sang target. Sekarang sang anak memasuki dunia kompetisi baru lagi, namun lebih fleksible. Karena tempat baru ini, mempunyai pilihan yang lebih banyak dalam mengambil tindakannya. Kompetisi di arena Perguruan Tinggi.
Karena si anak sudah terlatih semenjak kecil, yang sudah habitut baginya, belajar-belajar dan terus belajar, sehingga ia agak berbeda dengan teman-temannya yang lain. Teman-temannya tidak semuanya sibuk seperti dia. Ada ikut kegiatan menyanyi dan menari, olah raga, jurnalistik, lembaga dakwah kampus, bisnis dll. Sementara sang Anak yang sudah dewasa itu, aktivitasnya adalah rumah, kampus dan perpustakaan.
Akhirnya ia lulus dengan nilai terbaik sebagai sang juara diangkatannya, Cumlaude. Kehidupan belum berakhir, malah seakan-akan semakin dimulai. Setelah lulus, Ia pun melamar pekerjaan. Alhamdulillah dia diterima ditempat kerja yang bonafide, sekaligus arena perlombaan dan kompetisi baru baginya. Di arena ini tidak kalah menarik dari ring-ring kompetisi yang telah ia menangkan. Seperti, setiap hari senin, meeting mingguan sebagai progres pekerjaan yang telah dilakukan bersama team dan bosnya. Telinga nya tidak pernah luput mendengar kata-kata target...target...target... dari atasannya.
Target demi target ia lampaui. Suatu hari saat pulang kerumah bertemu orang tuanya. Ia mendengar pertanyaan, ”Kapan kamu menikah?” pertanyaan itupun menambah target baru dalam hidupnya. Ia pun mencari dan mencari serta mencocokkan antara kriterianya dan juga masuk kriteria orang tuanya.
Setelah pencarian berlangsung, dia menemukan pedamping hidupnya. Pernikahan pun berlangsung. Sementara di arena kerja, di kantor dia terus mengejar target untuk menaiki jenjang lebih tinggi. Menjadi Manager, Kepala Cabang hingga menjadi Direktur. Seiring waktu, tuntutan keluarganya pun semakin bertambah berbarengan tingginya karir yang ia naiki.
Rasa Penyesalan
Sampai suatu ketika, ia duduk disamping sebuah jendela. Melihat kebawah, ada anak-anak yang sedang bermain di taman. Mereka bermain sungguh sangat mengasyikan penuh riang gembira. Muncul pertanyaan dalam dirinya ”Kapan aku akan seperti itu?”.
Ditaman itu ada jalan kecil setapak terbuat dari beton. Di atas jalan tersebut, ia melihat ada lelaki sedang mendorong kereta bayi bersama istrinya sambil mengendong anak mereka. Lagi-lagi ia bertanya dalam dirinya ”Kapan aku akan seperti itu?”.
Dari jendela itupun ia melihat, ada kursi terbuat dari besi. Di kursi tersebut ada seorang kakek dan nenek seusianya, duduk mesra dihampiri oleh anak-anak dan cucunya. Sekali lagi ia bertanya ”Kapan aku seperti itu?”.
Dengan wajah penuh kesedihan. Tiba-tiba ia sadar, sekarang sedang berada di panti jombo. Istrinya sudah lebih dahulu meninggalkan arena perlombaan (meninggal). Diapun tidak tau, dimana anak-anaknya berada dan dimana mereka tinggal.Kemudian, tanpa kuasa dia menahan, air mata mengalir membasahi pipinya. Air mata penyesalan. Karena ia sadar, seharusnya pertanyaan tadi tidak ia tanyakan. Sebab ia sudah melampauinya semua. Namun, tidak pernah dia luangkan waktu untuk menikmatinya. Akhirnya, ia berujar kepada dirinya sendiri ”Izinkan aku istirahat sejenak”. Dia pun menutup mata dan beristirahat selamanya, dalam jiwa penuh penyesalan.
Dikutip dari gontorians@yahoogroups.com
Berasa nulisin seperuh kisah hidupku.
BalasHapusSemoga tidak berakhir demikian. ☻
pastinya tidak akan berakhir seperti tu
BalasHapuskarena happy ending akan kita buat bersama ..