Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, penuh rasa haru dan tulus kulantunkan segala puji bagi Allah, Tuhan pencipta langit, bumi dan segala isinya. Sungguh ku bersyukur atas segala nikmat yang diberikan-NYA. Atas segala karunia yang dilimpahkan-NYA. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah pada teladan terbaik, Rosul Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya yang istiqomah di jalan kebenaran. Jalan mendaki nan terjal, jalan yang penuh onak dan duri. Jalan yang tidak pernah mudah untuk dilalui.
Hibban anakku, tiga tahun yang lalu engkau lahir. Aku mendengar jeritmu untuk yang pertama, tanggal 22 Januari 2008, pukul 23.24 tepat. Tangis yang sangat kencang, Nak! Mungkin sebuah kebetulan, tapi inilah kenyataan yang ada, tanggal 22, jam 23, menit ke 24. Bobotmu 3,6 kg, panjangmu 51 cm. Tanpa terasa mataku berkaca-kaca. Ada rasa haru, bahagia, dan penasaran. Aku terharu karena kehadiranmu adalah bukti keteguhan cinta kami, orang tuamu. Yach, aku juga penasaran sebagai mana para bapak yang lain. Normalkah engkau? Apakah jenis kelaminmu laki-laki seperti yang diperkirakan dokter? Dan segala perasaan lain yang bercampur dan berkecamuk di dada ini. Alhamdulillah, Allah memberi karunia kepadamu bentuk yang utuh Nak. Dan ternyata benar juga dugaan dokter kandungan itu. Kau punya “burung” hehehehe.. Tak terasa mata ini semakin basah karena bahagia. Yach, engkau menjerit karena harus menghirup udara dunia yang penuh polusi. Engkau menangis karena hadir di dunia yang fana, dunia yang penuh goda serta korup ini. Namun kami sambut kau dengan bahagia. Kami menyongsong hadirmu dengan penuh rasa haru dan bangga.
Hibban, masih tergambar jelas di pelupuk mataku, perjalanan dari kamar bedah menuju ruang bayi, engkau terus berteriak. Tangismu benar-benar kencang. Kuikuti dirimu dalam bopongan seorang perawat dari RS YAKKUM Purwodadi. Terus kutatap sosokmu sambil kulafazkan hamdallah tanpa henti. Ahh, sungguh indah dirimu. Aku jatuh cinta padamu, sejak pertama melihatmu. Tahukah kau Hibban, sejak jalan dari lorong rumah sakit sampai kau masuk ke ruang bayi di bangsal utama, ada seekor kupu-kupu terbang mengikuti dirimu. Seekor kupu-kupu yang terbang di malam hari di sebuah rumah sakit, saat kelahiranmu. Bahkan saat perawat yang membopongmu itu berbelok dan masuk ke bangsal bayi utama, kupu-kupu nan indah itu terus mengikutimu. Bukan terbang ke arah bangsal yang lain. Bukan! Tapi mengikutimu. Aku semakin takjub saat perawat itu berhenti di dekat meja administrasi di depan ruang bayi, kupu-kupu itupun terus terbang kian kemari di atasmu. Sempat bergetar hatiku melihatnya, Nak. Entah ini pertanda apa? Atau… mungkin ini hanya sebuah kebetulan. Yang jelas, sungguh indah panorama itu kulihat, anakku.
Setelah masuk di ruang bayi, dan kau selesai di bersihkan dan digedong, ku minta dirimu dari perawat itu. Kubilang padanya, Aku akan melantunkan adzan dan iqomat di kedua telingamu. Subhanallah, pertama ku menyentuh dan menggendongmu, dada ini bergemuruh. Ada rasa takut ku mencederaimu. Ada rasa kawatir kau lepas dari dekapanku. Sementara kau terus menangis dalam pelukanku, aku memulai membaca basmallah. Pelan dan penuh rasa khidmat, kemudian kulantunkan Adzan di telinga kananmu. Dan sungguh ajaib…. begitu suara adzan itu kau dengar, engkau terdiam Nak. Kau hentikan tangismu. Kau hentikan teriakanmu. Engkau nggak protes lagi. Sejujurnya, saat itu aku merinding mengalami suasana saat itu. Namun, terus kulantunkan gema adzan di telinga kananmu penuh khidmat sampai selesai. Engkau masih terdiam Hibban. Sesaat kemudian, ku lantunkan iqomah di telinga kirimu. Engkau juga masih diam anakku. Subhanallah.. Engkau memahami panggilan kebaikan anakku. Panggilan kebenaran. Dan kau kembali berteriak, menangis penuh tenaga, saat iqomah yang kulantunkan hendak selesai. Hayya ‘alla sholahh… Hayya ‘allall falahh.. Ahh, apakah kau turut berteriak mengajak orang untuk menegakkan sholat, anakku? Apakah saat itu kau turut menggemakan panggilan untuk menuju kebaikan? Apapun itu, namun teriakanmu saat itu kembali mengisi seluruh relung dan celah ruang di bangsal bayi.
Nak, selesai kulantunkan Adzan dan Iqomah di kedua telingamu kuserahkan kembali dirimu pada perawat yang ada. Kutunggu beberapa saat dan setelah meyakinkan diriku bahwa kau ditangani secara benar dan professional, aku segera menuju kamar bedah kembali. Mamamu masih ada disitu Nak, terbaring tanpa sadar setelah menjalani operasi cesar. Ku hanya bisa menunggu di depan pintu bedah. Tahukah kau Nak, betapa mama mu menangis penuh takut dan kawatir sebelum masuk kamar bedah? Air matanya mengalir, dan mengharapkan aku ikut masuk kamar bedah. Namun sayang, dokter dan team medis lainnya tidak mengijinkan. Apapun argumentasi dan alasan yang aku berikan. Mama bilang, “Pa, kenapa aku harus operasi? Aku sudah siap lahir bathin untuk melahirkan secara normal. Aku sudah berlatih secara fisik untuk itu semua. Papa tahu itu semua kan? Papa juga selalu temani. “ Nak, enggak ada yang bisa aku ucapkan saat itu, selain menghibur Mamamu. Menguatkan dan mensupport dia. Sungguh Nak, waktu itu aku berdoa, “Ya Allah, seandainya saat ini aku bisa gantikan posisi istriku, sungguh aku rela dan ikhlas untuk melakukannya. Aku mohon pada-Mu ya Robb..mudahkanlah segala proses yang akan terjadi. Amin”.
Hibban, anakku.. Beberapa saat setelah persalinanmu, Mamamu keluar dari kamar bedah. Aku sambut dia, kubantu dua perawat yang mendorong bed operasi dan kuberjalan disamping Mamamu. Aku pandangi wajah Mamamu Nak. Ahh..sungguh dia telah melewati satu proses yang sangat berat anakku. Mamamu masih belum sadar Nak. Pada saat itu, aku sungguh mengira semua proses telah selesai. Namun, ternyata tidak demikian Hibban. Beberapa saat setelah operasi itu, Mama menggigil nak. Menggigil sangat hebat! Hampir tiga jam lebih dia terus menggigil dan mengigau. Dingin Pa… Dingin banget Pa… Masya Allah… Aku peluk Mamamu Nak. Aku bungkus dengan tiga selimut tebal. Tangan, kaki, hidung dan bibir mamamu memang sangat dingin Nak. Dan dia masih terus menggigil meski telah diselimuti dengan tiga selimut yang tebal itu. Sungguh aku heran, ketika perawat kulapori kondisi itu, mereka hanya bilang, “itu biasa Pak”. Biasa gundulmu njebluk!! Ahh, Papa sungguh emosi saat itu Nak. Sungguh hari yang sangat melelahkan, baik secara fisik maupun batin. Siangnya, hampir 2 ½ jam Papa melakukan perjalanan dengan motor dari Salatiga ke Purwodadi, begitu mendapat telepon bahwa Mama sudah pembukaan 3. Dan malamnya, aku menghadapi itu semua. Dalam haru dan bahagia aku menyambut hadirmu, aku sungguh sangat kawatir saat itu melihat kondisi Mamamu. Kenapa perawat cuma bilang biasa itu Pak? Kemudian aku masuk kedalam kamar perawatan lagi dan terus kupeluk Mamamu. Aku cium bibirnya. Aku berharap dengan begitu akan membuat dia lebih hangat. Aku terus lakukan itu dalam kecemasan yang sangat. Yach, meski kadang bibirku sungguh sakit karena tanpa sadar digigit mamamu yang kedinginan, namun aku coba tahan itu. Sungguh aku sadar, Mamamu sungguh sedang lebih tersiksa dan sakit dari sakit yang aku alami karena gigitannya. Makanya aku tahan, Nak. Waktu berjalan sepertinya sangat lambat sekali saat itu.. Batinku menjerit, Ya Allah kapan penderitaan istriku ini akan berakhir..? Dan alhamdulillah, menjelang subuh, sekitar jam 3.30 pagi, Mamamu sudah mulai berkurang menggigilnya. Aku sudah bisa duduk disamping tempat tidurnya. Yayi bilang, “istirahat Mas Agung, buat tidur. Ida sudah gak papa”. Ah, tapi aku tidak bisa tidur nak. Aku terus duduk menemani mamamu yang lelap, entah karena pengaruh obat bius atau mungkin sedang tidur. Alhamdulillah, aku bersyukur pada Allah, keadaan mulai membaik. Aku cukup lega Nak. Cukup capek juga berdiri membungkuk sekitar 3 jam memeluk Mamamu saat itu. Hehehe…mungkin di moment itulah ciuman terlama yang pernah kami lakukan. Jangan kau tiru ya Nak, kecuali dengan istrimu kelak.
Hibban… kini umurmu sudah tiga tahun. Alhamdulillah, engkau tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Papa sungguh bangga dan punya harapan yang besar dengan hadirmu. Bukan harapan agar kelak kau mau menjadi apa… Apapun itu, doaku adalah itu yang terbaik buat dunia dan akhiratmu. Namun sebuah harapan, agar Aku Bisa Menjadi Ayah Yang Terbaik Buatmu. Bagiku, kau sungguh unik Nak. Sejak usia dua tahun, tiap kali engkau ditanya, “Hibban kalau sudah gedhe pengen jadi apa?” Dan jawabanmu sungguh bikin kami semua terkejut Nak. “Pengen jadi Plesiden!” Itu jawabmu. Hahahaha…sudah pahamkah kau apa arti Presiden nak? Siapa pula yang mengajarimu kata-kata Presiden itu? Hibban.., Tante Dewi, temen Papa yang di Belanda ini bilang, jadi Wakil Presiden aja, ikut enaknya tapi gak ikut dihujat. Hahaha…ide bagus juga tuh dari Tante Dewi.
Kamu pun sungguh unik dalam belajar anakku. Tiap kali ditanya, apa bahasa Inggrisnya Ayam atau jenis hewan yang lain? Kau tidak menjawab “chicken”, atau nama hewan lain itu dalam bahasa inggris, tapi kau justru tirukan suara ayam atau hewan itu sambil tersenyum. Ahhahaha, kami tahu, kau ngerti jawabannya anakku. Karena dulu kau selalu jawab straightforward, “Chicken!” atau “Goat!”, atau yang lainnya sesuai pertanyaan yang diberikan. Namun semakin bertambah usiamu, ada-ada saja cara kau menjawab. Mamamu juga bilang, sekarang kau tambah ceriwis. Gayamu udah kayak orang dewasa aja. Pinter ngeles dan suka cari-cari alasan. Hahahaha..bercanda aja kau nak, ngikut siapa sih celelekankamu itu?!!
Nak, melalui sehelai surat ini, Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun ya.Papa sungguh minta maaf, Hibban.. Sampai kau menginjak usia 3 tahun ini, Papa telah tinggalkan kau selama kurang lebih 2 tahun. Ahhh, sungguh waktu yang tidak sebentar. Sungguh aku telah kehilangan banyak moment indah akan dirimu. Sungguh aku telah kehilangan banyak waktu untuk melihat perkembanganmu. Untuk bermain denganmu. Untuk bercanda denganmu. Untuk menjalankan amanah Allah dalam mendidikmu. Maafkan ayahmu ini Nak? Maafkan aku ya Allah..? Hibban, sungguh besar peran dan jasa Mama dalam mendidik dan memeliharamu. Yakinlah, enggak ada yang bisa menggantikan pengorbanannya. Aku berharap agar kelak kau menjadi anak yang sholeh dan sungguh berbakti kepadanya. Sungguh dia sangat mencintaimu. Hibban, maafkan aku belum bisa sampaikan hadiah kepadamu saat ini. Namun yakinlah Nak, ada doa yang sangat tulus dan penuh harap, aku lantunkan kepada Allah untuk dirimu. Bukan hanya saat ini, saat kau berulang tahun. Namun setiap saat dalam sujudku, kuingat kau dalam rintihku kepada-Nya. Gefeliciteerd, mijn zoon! Ijinkan aku untuk menjadi ayah, sekaligus sahabat terbaik dan terdekat bagimu…
Untuk Mimi, terimakasih untuk semua yang telah Mimi lakukan. Terimakasih untuk semua pengorbanan Mimi buat Hibban. Dan juga terutama buat aku. Maafkan Bibi jika belum bisa menjadi suami yang terbaik buat Mimi. Maafkan Bibi jika harus meninggalkan Mimi dan Hibban untuk beberapa waktu ini. Terimakasih untuk semua support dan doanya selama Bibi menempuh studi. Sungguh, pengorbanan Mimi luar biasa dan sangat berarti buat Bibi. Semoga..surga Allah menanti di kelak kemudian hari. Amin YRA.
Hibban, aku cukupkan sekian surat ini. Semoga, ada hikmah dan pelajaran yang bisa kau petik dari isinya. Semoga pula, kita bisa lekas berkumpul kembali dalam naungan cinta dan keridloan-Nya, di gubuk kita yang sederhana. Di Salatiga. Amin. Oya, sudah pengen punya adek buat temen bermainkan? Doakan sekolahku lancar ya Nak…
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
(Mimi: dari kata Umi dan Bibi: dari kata Abi. Aku dan Mamamu sering memanggil seperti itu satu sama lain dalam moment-moment keberduaan kami)
Thank you for re-posting again this note.
BalasHapushehe .. sama-sama :D
BalasHapus